Tuesday, September 21, 2010

BELAJAR KEJUJURAN DARI BIS KOTA

Suatu hari Iman berjalan menuju pusat kota Tehran menggunakan bis kota, ada suatu yang tidak biasa dalam bis tersebut, penumpang harus membayar sendiri setelah mereka keluar dari bis kota, walaupun bis tersebut penuh sesak dan bercampur bau badan, tapi asik bagi iman, karena bisa tepat waktu menuju tempat tujuan dan tidak terkena macet pastinya.

Iman yang sudah beberapa tahun tinggal di Kota Tehran sudah biasa melihat pemandangan tersebut, namun ketika dia pertama kali menginjakkkan kakinya di ibu kota negeri Persia ini, ada yang canggung. Biasanya di dalam satu bis kota ada supir atau kondektur, kalaupun gak ada kondertur biasanya masuk pintu satu arah, misalnya naik pintu depan dan keluar pintu belakang, dan pas masuk diminta atau dimasukan karcis/kartu untuk membayar. Tapi bis kota yang ada di kota Tehran, tidak terlihat ada kondektur, mereka biasa membayar langsung kepada supir setelah mereka turun dari bis kota.

Berbeda ketika Iman menaiki busway, ia harus memakai karcis atau kartu elektronik dan harus memasukkannya di mesin, sama halnya seperti naik metro/subway (KRL bawah tanah) harus menggunakan kartu yang sama seperti naik bis kota. Tidak ada yang aneh dalam penglihatan iman.

Bukan Bayar Biasa

Penumpang membayar sendiri setelah mereka turun dari bis kota, Mereka harus jujur bahwa mereka naik bis kota dan harus bayar, seandainya salah satu dari penumpang tidak bayar pun, tidak ada yang tahu, karena biasanya penumpang turun dengan berjamaah.

Disini kita belajar kejujuran dari orang-orang yang menumpang bis kota di Tehran, walaupun secara ongkos bisa dibilang murah sekitar 1000 Rials Iran atau sekitar Rp. 1000.

KISAH SEORANG IBU SOLEHAH

Suatu ketika setelah salat subuh seorang ibu memanggil cucunya, dan menyuruh cucunya untuk menghubungi anak-anaknya dan keluarga besarnya berkumpul dirumahnya hari itu juga. Maka cucunya tersebut menghubungi anak-anaknya (paman/tantenya) yang berada di jakarta dan cirebon untuk datang ke bandung, rumah ibu tersebut.

Setelah menghubungi semua sanak saudara, maka berkumpullah keluarga besar tersebut, sampai tetanga-tetangganya ikut kumpul, karena dipanggil juga untuk berkumpul. Setelah semuanya berkumpul, setelah salat ashar sang ibu tersebut menasehati anak-anaknya. Setelah selesai menasehati, maka sang ibu bertanya, kepada seluruh anaknya : “apa ada yang belum jelas dari nasehat ibu?”, Maka semuanya menjawab : “ jelas bu..”. sang ibu pun bertanya ulang, dan jawabannya tetap sama “jelas bu..”. kalau sudah jelas, ibu akan berbicara dengan orang-orang yang telah berkumpul disini, maka ditanyalah satu-satu dari mereka, bagaimana kabarnya, kabar keluarga dan seterusnya.

Setelah semuanya ditanya, maka sang ibu tersebut meminta maaf kepada seluruh orang yang berada di rumahnya, satu persatu. Orang-orang yang berkumpul menyaksikan dengan seksama, apa yang terjadi dan yang akan terjadi. Maka tibalah waktu salat magrib, orang-orang yang berkumpul belum beranjak dari tempatnya, maka si ibu tersebut menyuruh anaknya untuk mengambilkan air, untuk berwudhu dan berkata : “tolong ambilkan ibu air, karena badan ibu terasa sudah tidak kuat lagi untuk berdiri dan berjalan”. (padahal sebelumnya ibu tersebut masih kelihatan sehat dan beraktifitas seperti biasa).

Berwudulah ibu tersebut dengan air yang telah dibawakan oleh anaknya, seletah wudhu sang ibu tersebut salatlah dengan khusu genap 3 rakaat, padahal orang-orang yang berada disana, belum ada yang beranjak untuk salat magrib, karena semuanya tegang. setelah salat sang ibu kembali bertanya kepada anaknya, “nak, masih ada yang dipertanyakan?” , “tidak ada bu..” kata anak-anaknya tersebut. Alhamdulillah kalau gitu, beberapasa saat kemudian sang ibu mengucapkan “asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah” dan kemuadian meninggallah ibu tersebut.

Barulah orang-orang yang berkumpul mengucapkan “inna lillahi wa inna ilahi roji’un”.

Masyarakat sekitar langsung bertanya, apa keistimewaan ibu tersebut sehingga sebelum ajalnya tiba, telah mengetahui ajalnya beberapa saat sebelum meninggalkan dunia ini? maka dari beberapa sumber, terungkaplah dua keistimewaan ibu tersebut; pertama, ibu itu selalu menyantuni anak yatim, sehingga dalam salah satu wasiatnya kepada anak-anaknya adalah sepertiga dari hartanya untuk anak-anak yatim yang beliau asuh, dan dua pertiganya baru untuk ahli waris.

Yang kedua, dari kabar yang didapat dari teman-temannya, ternyata sang ibu ini tidak pernah membuat orang lain marah dan selalu bawaannya menghibur orang lain dengan kata-katanya yang lembut.

Subhanallah, ini kisah nyata yang dikisahkan langsung oleh aktor sejarah [KH Athian Ali], yang melihat langsung, karena ibu ini adalah teman ibu beliau sekitar tahun 1972-1973 di Bandung.

Sulitnya Tarawih di Iran (dimuat di Republika, Selasa, 31 Agustus 2010)

Oleh: Dadan Maula Darmawan (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Internasional Imam Khomeini, Iran)

Kebiasaan ngabuburit di Indonesia, sama sekali tidak dikenal di negeri ini.Berpuasa di negeri mayoritas Muslim ternyata tidak selalu mudah. Di negeri Islam Iran, mayoritas umat Muslim yang menganut mazhab Syiah tidak melaksanakan shalat Tarawih.

Oleh karena itu, sebagai umat yang meganut mazhab Suni, warga Indonesia di Iran, kesulitan untuk melaksanakan shalat Tarawih. Warga Indonesia yang kebanyakan mahasiswa harus pontang-panting mencari masjid yang melaksanakan Tarawih. Saya pun kaget ketika pertama kali datang ke negeri Ahmadinejad ini untuk studi S2 di Universitas Internasional Imam Khomeini.

Namun, bagi yang tinggal di Teheran, seperti saya, mungkin masih lebih beruntung. Karena, Duta Besar Republik Indonesia (KBRI) Teheran di Iran, Iwan Wiranataatmadja, mendatangkan para imam langsung dari Tanah Air untuk memimpin shalat Tarawih.

Tidak hanya memimpin Taraweh, para imam itu juga berceramah seusai shalat Tarawih. Rasanya menghapus dahaga rohani. Berbagai topik disajikan para imam untuk menambah khazanah keislaman warga Indonesia di Iran.

Selain itu, mereka juga menjadi imam pada shalat Jumat di area perkantoran KBRI Teheran. Biasanya, jika tidak ada imam dari Indonesia, yang menjadi imam dan khatib untuk shalat Jumat adalah para mahasiswa yang menempuh studi di negeri Persia ini.

Para imam yang didatangkan dari Indonesia itu, di antaranya Prof Dr Ali Aziz, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Syeikh Mustafa Mas'ud dari Jakarta, dan KH Athian Ali dari Bandung. Tiga imam ini tidak didatangkan sekaligus, melainkan dibagi menjadi tiga tahap, yang pertama di 10 awal Ramadhan, yang kedua 10 hari di pertengahan Ramadhan, sementara yang ketiga di 10 akhir Ramadhan hingga memimpin shalat Idul Fitri mendatang.

Kehadiran imam tersebut menambah semangat masyarakat Indonesia di sana untuk Tarawih. Mereka berduyun-duyun ke KBRI untuk melaksanakan Tarawih sebelum azan Isya berkumandang. Lewat Tarawih berjamaah ini pula, warga Indonesia di Iran dapat bersilaturahim satu dengan yang lainnya.

15 jam

Bulan Ramadhan di negeri orang berbeda dengan di Tanah Air. Jika di Indonesia masyarakat dan media massa begitu antusias menyambut bulan suci ini, di Republik Islam Iran hal itu sama sekali tak tampak. Ini karena budaya masyarakatnya yang berbeda.

Kebiasaan ngabuburit menjelang berbuka puasa di Indonesia tidak dikenal oleh masyarakat Iran.Meski begitu, ada juga warga setempat yang menjual makanan ciri khas menjelang buka puasa, namun jumlahnya relatif sedikit. Makanan tersebut bernama halim, terbuat dari tepung gandum yang dicampur dengan daging kambing.

Saya pernah antre untuk membeli makanan menjelang buka puasa.. Namun, setelah disantap, ternyata rasanya sangat hambar dan tidak cocok dengan lidah Indonesia. Saya agak terheran mengapa Halim menjadi makanan favorit warga Iran?Berbeda dengan di Indonesia yang waktu puasanya (mulai sahur hingga Maghrib) relatif tetap, yakni sekitar 13,5 jam.

Namun, di Iran, jika pada musim panas, waktu berpuasa bisa lebih lama sampai 15 jam lebih. Untuk Ramadhan tahun ini, lama puasa sekitar 15 jam karena bertepatan denga musim panas. Biasanya, kami melaksanaknakan sahur sekitar pukul 04.30 dan buka puasa pukul 19.30 waktu setempat.Ramadhan di Iran diperingati dengan biasa saja, walaupun di setiap jalan banyak terpajang spanduk-spanduk yang bertema Ramadhan. Begitupun di televisi-televisi Iran banyak iklan tentang Ramadhan. Tapi, semua itu hanya di beberapa media, tidak terasa kehidupan sehari-hari.

Khutbah Jumat, 17 September 2010 KBRI Tehran


يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hari Raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kebesaran umat Islam telah pergi meninggalkan kita semua. Setelah sebulan lamanya umat Islam ditempa dan diuji tingkat keimanan dan ketakwaan yang dibalas Allah SWT oleh pahala yang berlipat-lipat dan pengampunan dosa, kini bulan sejuta hikmah dan anugerah itu pun telah berlalu.

Hari Raya Idul Fitri mencerminkan tiga sikap yang mesti kita miliki. Pertama, mempertahankan nilai-nilai kesucian yang diraih umat Islam pada hari fitri. Berlalunya momentum puasa hendaknya tidak dijadikan sebagai kembalinya manusia ke kebiasaan dan perilaku yang jauh dari perintah Allah atau malah dekat dengan segala larangan-Nya.

Inilah dia hari bagi umat Islam melaksanakan konsep idul fitri yang dimaksudkan kembali kepada fitrah. Dengan tibanya idul fitri, umat Islam seolah-olah baru kembali dengan hati dan jiwa yang bersih. Bayangkanlah keadaan umat Islam ketika itu: keadaan baru kembali seperti sehelai kain putih, bersih dan suci dari segala kotoran. Inilah keberhasilan dan kegembiraan bagi mereka yang berjuang mendapatkan keridaan Allah. Fitrah tersebut haruslah dipelihara. Kesuciannya tidak harus dicemari, harus dijadikan dorongan untuk meneruskan perjuangan dalam melaksanakan ibadah dan meraih ganjaran pahala lebih besar pada bulan-bulan seterusnya.

Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 102, "Wahai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan Muslim."

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hadirin yang Berbahagia

Kedua, berharap bahwa Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa umat Islam yang telah lalu dan meminta selalu dibimbing agar dijauhkan dari perbuatan dosa pada kemudian hari. Allah akan mengampuni segala dosa kaum Muslim yang pada bulan Ramadhan melaksanakan ibadah puasa dan derivasinya secara bersungguh-sungguh.

Ketiga, hendaknya melakukan evaluasi dan kontemplasi diri bahwa ibadah puasa kita sudah sesuai dengan apa yang diharapkan Allah SWT. Jangan sampai kita seperti yang disabdakan Nabi SAW, "Banyak sekali orang yang berpuasa, yang puasanya sekadar menahan lapar dan dahaga."

Dengan berakhirnya Ramadhan, bukan berarti kita mengendorkan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah. Sebaliknya, "sekolah" Ramadhan yang telah berlalu sepatutnya dijadikan sebagai wahana pembelajaran untuk semakin meningkatkan kadar ibadah kita.

Jika dalam bulan Ramadan umat Islam diperintahkan berpuasa dan dijanjikan pengampunan dan pembebasan dari siksaan api neraka, maka apabila tiba Hari Raya, Allah memerintahkan hamba-Nya agar bertakbir mengagungkan kebesaranNya, serta bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan.

Kemenangan yang diraih itu tidak akan tercapai kecuali dengan pertolongan Allah. Maka sudah sewajarnya hambaNya memperbanyakkan zikir, takbir, tahmid dan tasbih kepada Tuhannya serta bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa.

Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 185 yang artinya : “Dan agar kamu membesarkan Allah atas apa-apa yang telah Dia beri petunjuk kepadamu, dan agar kamu bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan.”

لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Mari, kita sama-sama meraih kemenangan Ramadhan pada Idul Fitri 1431 H. Isi lembaran baru dalam keseharian kita dengan identitas baru sebagai orang yang bertakwa, dengan tetap menjalankan perintahnya:

Tetap Menjaga Solat Lima Waktu

Jamaah Jum’ah Rahimakumullah

Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid mengerjakan solat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu bersemangat melaksanakan amalan solat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan syaitan pun dibelenggu.” (Hadis Riwayat Muslim)

Keutamaan orang yang menjaga solat lima waktu berikut. Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu solat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam syurga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.”(Hadis Riwayat Ibnu Majah)

Solat berjemaah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding solat sendirian. Rasulullah SAW bersabda, “Solat jemaah lebih utama dari solat sendirian sebanyak 27 darajat.” (Hadis Riwayat Bukhari Dan Muslim)

Namun disayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kita. Bahkan mulai pada hari lebaran saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan solat karena sibuk dengan berbagai aktifitasnya. Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita kebiasaan bangun kesiangan, dan meninggalkan solat shubuh begitu saja. Padahal solat Subuh inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi SAW: “Tidak ada solat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali solat Subuh dan solat Isya. Seandainya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (Hadis Riwayat Bukhari Dan Muslim)

Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi SAW bagi orang yang meninggalkan solat. Dari Tsauban r.a, beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah solat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan kesyirikan.” (Hadis Riwayat Ath Thobariy.

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah solat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (Hadis Riwayat Ahmad, Tirmidzi, An Nasaai Dan Ibnu Majah)

Hadirin Rahimakumullah

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Selain dari bertakbir, bertahmid dan bertasbih umat Islam dianjurkan agar berpuasa enam hari di bulan Sayawal. Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya : “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan kemudian ia berpuasa pula enam hari pada bulan Syawal adalah seperti berpuasa sepanjang masa.” (Hadis Riwayat Muslim)

Hadis tersebut menjelaskan bahawa salah satu keistimewaan di bulan Syawal ialah peluang berharga untuk orang-orang yang mengejar nikmat dan kemurahan Allah sepanjang hidup yaitu puasa enam hari.

Ganjaran pahala diberikan oleh Allah kepada mereka yang berpuasa enam di bulan ini seperti ganjaran pahala kepada yang berpuasa sepanjang masa. Ganjaran yang begitu tinggi nilainya diberikan oleh Allah untuk hambaNya. Ini adalah setimpal dengan keikhlasan umat Islam dalam melaksanakannya, dengan memperhatikan dimana kebanyakan manusia tidak dapat melakukannya disebabkan keadaan sekeliling mereka lebih menguji keimanan seseorang yang menunaikan puasa di waktu kemeriahan Hari Raya

Kita hanya memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa. Sungguh suatu kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya telah disebutkan oleh Nabi SAW dalam hadis berikut, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (Hadis Riwayat Bukhari Dan Muslim)

Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut.

Khutbah Jum'at 30 Juli 2010 KBRI Tehran

Sudah tidak terasa 12 hari lagi kita akan memasuki bulan ramadhan, bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, penuh berkah dari semua sisi kebaikan. Oleh karena itu, kita selaku umat Islam harus mengambil keberkahan Ramadhan dari semua aktifitas positif.
Bulan ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan, ”(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ’alaihimus salam
Sebelum datangnya bulan suci ramadhan penuh berkah itu, maka kita harus mempersiapkan diri dan apa saja yang harus kita persiapkan:

Pertama Persiapan ruhiyah (spiritual)
Persiapan ruhiyah dapat dilakukan dengan memperbanyak ibadah, seperti memperbanyak membaca Al-Qur’an saum sunnah, dzikir, do’a dll. Dalam hal mempersiapkan ruhiyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:” Saya tidak melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).

Kedua Persiapan fikriyah;
Persiapan fikriyah atau akal dilakukan dengan mendalami ilmu, khususnya ilmu yang terkait dengan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang berpuasa tidak menghasilan kecuali lapar dan dahaga. Hal ini dilakukan karena puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup. Seorang yang beramal tanpa ilmu, maka tidak menghasilkan kecuali kesia-siaan belaka.
Ketiga Persiapan Fisik dan Materi

Seorang muslim tidak akan mampu atau berbuat maksimal dalam berpuasa jika fisiknya sakit. Oleh karena itu mereka dituntut untuk menjaga kesehatan fisik, kebersihan rumah, masjid dan lingkungan. Rasulullah mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan.
Sarana penunjang yang lain yang harus disiapkan adalah materi yang halal untuk bekal ibadah Ramadhan. Idealnya seorang muslim telah menabung selama 11 bulan sebagai bekal ibadah Ramadhan. Sehingga ketika datang Ramadhan, dia dapat beribadah secara khusu’ dan tidak berlebihan dalam mencari harta atau kegiatan lain yang mengganggu kekhusu’an ibadah Ramadhan.

Keempat Merencanakan Peningkatan Prestasi Ibadah (Syahrul Ibadah)
Ibadah Ramadhan dari tahun ke tahun harus meningkat. Tahun depan harus lebih baik dari tahun ini, dan tahun ini harus lebih baik dari tahun lalu. Ibadah Ramadhan yang kita lakukan harus dapat merubah dan memberikan output yang positif. Perubahan pribadi, perubahan keluarga, perubahan masyarakat dan perubahan sebuah bangsa. Allah SWT berfirman :

إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ ما بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا ما بِأَنْفُسِهِمْ

« Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri » (QS AR- Ra’du 11).
Diantara bentuk-bentuk peningkatan amal Ibadah seorang muslim di bulan Ramadhan, misalnya; peningkatan, ibadah puasa, peningkatan dalam tilawah Al-Qur’an, hafalan, pemahaman dan pengamalan. Peningkatan dalam aktifitas sosial, seperti: infak, memberi makan kepada tetangga dan fakir-miskin, santunan terhadap anak yatim, beasiswa terhadap siswa yang membutuhkan dan meringankan beban umat Islam. Juga merencanakan untuk mengurangi pola hidup konsumtif dan memantapkan tekad untuk tidak membelanjakan hartanya, kecuali kepada pedagang dan produksi negeri kaum muslimin, kecuali dalam keadaan yang sulit (haraj).

Kelima Menjadikan Ramadhan sebagai Syahrut Taubah (Bulan Taubat)
Bulan Ramadhan adalah bulan dimana syetan dibelenggu, hawa nafsu dikendalikan dengan puasa, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
”Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam dan terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan hal maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu
Sehingga bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat kondusif untuk bertaubat dan memulai hidup baru dengan langkah baru yang lebih Islami. Taubat berarti meninggalkan kemaksiatan, dosa dan kesalahan serta kembali kepada kebenaran. Atau kembalinya hamba kepada Allah SWT, meninggalkan jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang sesat.
Taubat bukan hanya terkait dengan meninggalkan kemaksiatan, tetapi juga terkait dengan pelaksanaan perintah Allah. Orang yang bertaubat masuk kelompok yang beruntung. Allah SWT. berfirman:
وَ تُوبُوا إِلَى اللهِ جَميعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS An-Nuur 31).
Oleh karena itu, di bulan bulan Ramadhan orang-orang beriman harus memperbanyak istighfar dan taubah kepada Allah SWT. Mengakui kesalahan dan meminta ma’af kepada sesama manusia yang dizhaliminya serta mengembalikan hak-hak mereka. Taubah dan istighfar menjadi syarat utama untuk mendapat maghfiroh (ampunan), rahmat dan karunia Allah SWT.

وَ يا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّماءَ عَلَيْكُمْ مِدْراراً وَ يَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلى قُوَّتِكُمْ وَلا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمينَ

“Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (QS Hud 52)

Keenam Menjadikan bulan Ramadhan sebagai Syahrut Tarbiyah
Bulan Ramadhan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para da’i dan ulama untuk melakukan da’wah dan tarbiyah. Terus melakukan gerakan reformasi (harakatul ishlah). Membuka pintu-pintu hidayah dan menebar kasih sayang bagi sesama. Meningkatkan kepekaan untuk menolak kezhaliman dan kemaksiatan. Menyebarkan syiar Islam dan meramaikan masjid dengan aktifitas ta’lim, kajian kitab, diskusi, ceramah dll, sampai terwujud perubahan-perubahan yang esensial dan positif dalam berbagai bidang kehidupan. Ramadhan bukan bulan istirahat yang menyebabkan mesin-mesin kebaikan berhenti bekerja, tetapi momentum tahunan terbesar untuk segala jenis kebaikan, sehingga kebaikan itulah yang dominan atas keburukan. Dan dominasi kebaikan bukan hanya dibulan Ramadhan, tetapi juga diluar Ramadhan.

Ketujuh Menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Muhasabah (Bulan Evaluasi)
Dan terakhir, semua ibadah Ramadhan yang telah dilakukan tidak boleh lepas dari muhasabah atau evaluasi. Muhasabah terhadap langkah-langkah yang telah kita perbuat dengan senantiasa menajamkan mata hati (bashirah), sehingga kita tidak menjadi orang/kelompok yang selalu mencari-cari kesalahan orang/kelompok lain tanpa mau bergeser dari perbuatan kita sendiri yang mungkin jelas kesalahannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan untuk mempersiapkan diri kita menyambut ramadhan yg suci.

Khutbah Jumat, 04 Juni 2010 KBRI Tehran

فمَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ وَ مَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ


Hadirin Jamaah Jum’ah Rahimakumullah

Pada kesempatan yang berbahagia ini, khatib mengingatkan diri saya sendiri khususnya dan kepada jama’ah umumnya, untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Alloh swt., dengan sebenar-benarnya takwa yaitu ikhlas menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang telah dilarang. Kemudian marilah kita senantiasa mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT semata. Allah telah melimpahkan kepada kita sedemikian banyak ni’mat. Jauh lebih banyak nikmat yang telah kita terima dibandingkan kesadaran dan kesanggupan kita untuk bersyukur, terutama nikmat Iman dan Islam.

Hadirin Jamaah Jumah yang Berbahagia

Iman yang ada dalam hati seorang Muslim tidak tetap dalam satu keadaan, selalu mengalami perubahan. Terkadang naik, terkadang turun. Fluktuasi iman ini sudah disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, ''Iman itu kadang naik kadang turun, maka perbaharuilah iman kalian dengan la ilaha illallah.'' (HR Ibn Hibban)

Rasulullah SAW tidak mengingkari keadaan iman yang demikian, oleh karena itu beliau mendorong dan memberi arahan kepada umatnya untuk selalu memperbaharui dan menjaga kondisi iman supaya jangan sampai turun drastis, yang pada akhirnya akan mengantarkan ke dalam jurang kehinaan. Karena dengan kondisi seperti itu akan mudah mengantarkan seseorang untuk berbuat dosa.

Nasihat dan petunjuk Rasulullah itu betul-betul diperhatikan oleh para sahabatnya, karena mereka pun mengakui dan mengalami fluktuasi keimanan. Dalam hal ini Umar bin Khathab berkata kepada sahabat yang lain: ''Marilah kita perbaharui keimanan kita.''

Mu'adz bin Jabal berkata, ''Marilah duduk bersama kami, untuk beriman sesaat.'' Perkataan Mu'adz ini bukan menunjukkan bahwa mereka tidak beriman sama sekali, tapi dia mengajak untuk meningkatkan keimanan setelah disibukkan oleh berbagai urusan dunia yang kadang menyebabkan kita lupa pada kondisi iman kita.

Jamaah Jumah Rohimakumullah

Sebenarnya banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menambah keimanan, di antaranya dengan menuntut ilmu, karena dengan ilmu itu akan mengantarkan orang untuk tahu akan Tuhannya. Allah berfirman: ''Sesungguhnya Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.'' QS Annur [24]: 53).

إِنَّ اللهَ خَبيرٌ بِما تَعْمَلُونَ

Cara lain adalah dengan membaca, menelaah, mentadaburi Alquran. Sebagaimana firmannya, ''Katakanlah: Tuhanku menyuruhku untuk berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) dan sembahlah dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata kepada-Nya.'' (QS Al A'raf [7]: 29).

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَ أَقيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَ ادْعُوهُ مُخْلِصينَ لَهُ الدِّينَ كَما بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

Sebaliknya, di antara hal-hal yang menyebabkan keimanan seseorang menurun adalah perbuatan maksiat atau dosa. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya jika seorang Muslim berbuat dosa, maka terjadilah di hatinya satu bintik hitam. Jika ia bertaubat dan meninggalkan perbuatan itu maka bersihlah kembali hatinya. Jika tidak bertobat dan terus dosanya itu, maka bertambah banyaklah bintik hitam itu sehingga tertutup hatinya. Itulah ron (warna hitam) yang disebut dalam Alquran.

Jamaah Jumah yang Dimulyakan Allah

Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Tiga hal yang merupakan sumber segala dosa, hindarilah dan berhati-hatilah terhadap ketiganya. Hati-hati terhadap keangkuhan, karena keangkuhan menjadikan iblis enggan bersujud kepada Adam, dan hati-hatilah terhadap tamak (rakus), karena ketamakan mengantar Adam memakan buah terlarang, dan berhati-hatilah terhadap iri hati, karena kedua anak Adam (Qabil dan Habil) salah seorang di antaranya membunuh saudaranya akibat dorongan iri hati." (HR Ibn Asakir melalui Ibn Mas'ud).

Jiwa manusia diliputi oleh sifat takabur pada saat manusia merasa memiliki kelebihan, baik berupa ilmu pengetahuan, harta benda, ataupun jabatan. Dalam keadaan seperti ini, setan tidak akan tinggal diam, dia akan membisikkan dan memasang perangkap untuk menjerumuskan manusia dengan melakukan tindakan yang tidak terpuji. Seperti, mencela, menghina, dan merendahkan orang lain.

Sifat kedua yang diingatkan pada kita untuk mencermatinya adalah sifat tamak (rakus). Sering kali kita melihat betapa rakusnya manusia dalam mempertahankan apa yang sedang dalam genggamannya, baik berupa harta, kekuasaan, ataupun kedudukan. Sama sekali ia tidak mau berbagi dan hanya mau dinikmati sendiri. Ia tidak pernah merasa cukup dan tidak pernah bersyukur atas apa yang diperolehnya.

Padahal, Allah SWT menjanjikan dan mengingatkan berulang kali kepada manusia bahwa sekecil apa pun perbuatan baik yang kita lakukan tidak akan sia-sia. ''Barang siapa yang mau berbuat baik walau sebesar biji dzara pun Allah SWT akan membalasnya.'' (QS Alzalzalah [99]: 7).

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ وَ مَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Jamaah Jumah Rahimakumullah

Ketiga, hasud atau iri hati. Dengki atau iri hati adalah perasaan tidak rela atau tidak suka melihat orang lain mendapatkan kebaikan atau kenikmatan. Ketika dalam diri manusia telah tertanam sifat dengki, ia akan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan orang yang ia dengki. Ia tidak senang melihat orang lain sukses, pintar, hidup bahagia, dan lebih kaya darinya. Sikap seperti ini akan menghapus segala bentuk kebaikan yang selama ini ia peroleh. Perbuatan baiknya akan sia-sia karena dalam dirinya terdapat sifat iri hati.

Takabur, tamak, dan hasud merupakan tiga perangai buruk yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan yang tidak terpuji. Karena itu, Rasulullah SAW selalu mengingatkan kepada kita untuk menjauhi tiga hal yang menyebabkan manusia terjerumus dalam tipu daya setan.