Tuesday, September 21, 2010

Khutbah Jumat, 06 November 2009 KBRI Tehran

Izinkanlah saya untuk berwasiat baik bagi diri saya sendiri maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu dapat meningkatan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah swt. Karena hanya dengan bekal iman dan takwa sajalah kita akan selamat baik dunia maupun Akhirat.

وَما كانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبيناً

Dan tidaklah patut bagi mu’min dan tidak (pula) bagi mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahzaab : 36).

Kalimat Thoyyibah yakni, kalimat tauhid: “Laa ilaaha illallah” di samping bermakna meng”Esa”kan Allah SWT dalam Dzat, sifat dan Asma-Nya, juga meng”Esa”kan Allah SWT dalam syariat-Nya. Apalah artinya seseorang meng”Esa”kan Allah SWT dalam Dzat, jika malah menyekutukan dan atau mengkufuri Allah SWT dalam aturan dan hukum-Nya.

Mereka yang digolongkan kafir oleh Al Qur’an bukan sebatas yang ingkar akan Dzat Allah SWT (Mulhid dan atau Musyrik) tapi juga mereka yang mengimani ”rububiyah” Allah SWT sebagai “Pencipta, Pemelihara, Pengatur dan Pendidik” yang secara fitrah dimiliki setiap manusia namun mengkufuri “Uluhiyyah”nya Allah SWT sebagai Dzat satu-satuya yang berhak diibadahi dengan melaksanakan syariat-Nya.

وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَني‏ آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى‏ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قالُوا بَلى‏ شَهِدْنا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هذا غافِلينَ

172. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) lengah terhadap (kesaksian Tauhid) ini”, (QS. Al A’raaf :172)

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنيفاً فِطْرَةَ اللهِ الَّتي‏ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْها لا تَبْديلَ لِخَلْقِ اللهِ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (; Ar Ruum : 30)

Hadirin Jamaah Jumah Rahimakumullah

Simak firman Allah SWT:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّماءِ وَ الْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَ الْأَبْصارَ وَ مَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَ يُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَ مَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa menciptakan, pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan ?” maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya? (Yunus : 31)

Setiap mu’min dituntut “Aslama – Islam” (tunduk patuh dan taat) terhadap syariat Allah SWT, baik dimengerti atau tidak dimengerti akalnya, sejalan atau tidak sejalan dengan hawa nafsunya. Setiap mu’min sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Al Ahzaab : 36 di atas tidak memiliki pilihan kecuali taat terhadap syariat Allah, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh” (QS. An Nuur : 51).

إِنَّما كانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنينَ إِذا دُعُوا إِلَى اللهِ وَ رَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنا وَ أَطَعْنا وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Siapapun tidak mungkin meragukan Iblis dalam keimanannya terhadap Dzat Allah SWT. Mustahil dia sesat dengan meyakini Allah beranak dan diperanakkan atau ada sekutunya bagi-Nya, karena Iblis berdialog langsung dan menyaksikan Allah SWT tidak sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang mengkufurinya. Gugurnya keimanan Iblis yang berakhir dengan dilaknatnya Iblis hanya karena kufur terhadap satu aturan Allah SWT. Bahkan logika sesatnya menuding Allah keliru dalam aturan-Nya. Semestinya Adam (manusia)lah yang harus sujud (hormat) kepadanya.

Hadirin Jamaah Jumah Rahimakumullah

Sikap kufur yang sama juga yang ditunjukkan sebagaian bani Israil pada zaman Nabi Musa As., di mana ketika mereka sudah tidak memiliki argumentasi lagi untuk mengkufuri Allah dari segi Dzat (setelah 40 orang di antara mereka mendengar firman Allah dari balik bukit Thursina), mereka pun berupaya berkompromi dengan Nabi Musa As, bahwa mereka hanya akan tunduk dan patuh terhadap syariat Allah SWT yang sejalan dengan hawa nafsu dan akal mereka saja. Allah SWT menegur mereka lewat firman-Nya:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

“…Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (QS.Al Baqarah : 85)

Artinya, iman tidak mengenal prosentase, yakini dan terima syariat Allah SWT sepenuhnya atau tidak sama sekali! Tidak ada dalam kamus iman, orang itu sudah agak beriman, atau masih agak kafir. Kesesatan yang sama juga sudah lama dipertontonkan di Negeri kita oleh kaum Sepilis (Sekularisme, pluralism dan liberalism) mereka mengaku mu’min, namun kufur terhadap (sebahagian) syariat Allah SWT. Bahkan di antara mereka tidak sedikit yang terjebak logika sesat iblis dengan menuhankan akal dan melecehkan syariat Allah SWT yang tidak sejalan dengan logika mereka.

Tak sedikit orang yang mengira bahwa syirik adalah menyekutukan Allah dengan menyembah berhala atau mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Firaun. Menurut agama, menyekutukan Allah mencakup dimensi yang sangat luas: Dari gaya Firaun yang mengaku sebagai Tuhan sampai cara berfikir bahwa uang adalah segala-galanya.

Orang yang menganggap batu cincin yang dipakainya berkhasiat melariskan dagangannya, sebagai contoh, termasuk musyrik. Meminta keselamatan pada dukun, mohon perlindungan dari jin, dan bahkan bekerja sama dengan jin untuk tujuan-tujuan tertentu, juga termasuk bentuk kemusyrikan. Dalam hal terakhir ini, orang tersebut tidak hanya musyrik karena menganggap jin bisa dimintai pertolongan (QS. 1:5)

إيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

5. (Ya Allah), hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan., tapi juga telah mencampuri 'wilayah gaib' yang merupakan hak prerogatif Tuhan.

Hadirin Jamaah Jumah Rahimakumullah

Lebih jauh, Alquran memperingatkan tentang bentuk kemusyrikan yang bercokol di hati manusia dengan mempertanyakan: Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsunya?

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ هَواهُ وَ أَضَلَّهُ اللهُ عَلى‏ عِلْمٍ وَ خَتَمَ عَلى‏ سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ عَلى‏ بَصَرِهِ غِشاوَةً فَمَنْ يَهْديهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ

23. Pernahkah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk), serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mau ingat?

(QS. 45:23). Dari ayat ini tampak, siapa saja yang orientasi perbuatannya untuk kepentingan hawa nafsunya, berarti ia menjadi musyrik.

Kesombongan, misalnya, termasuk salah satu bentuk kemuysrikan. Ini karena manusia tak berhak untuk sombong. Rasulullah saw menjelaskan, ''Jika ada setitik kesombongan dalam hati manusia, niscaya Tuhan tak akan memasukkannya ke dalam sorga.'' Mengumbar hawa nafsu, sombong, dan merasa paling berkuasa merupakan tiga bentuk kemusyrikan yang sering tak disadari manusia. Nafsu ingin kaya dengan menghalalkan semua cara, seperti korupsi, manipulasi, dan lain-lain penyelewengan -- termasuk bentuk kemusyrikan. Merasa dirinya 'lebih' dari orang lain sehingga ia merasa berhak untuk 'berkacak pinggang' juga termasuk bentuk kemusyrikan. Dan, merasa dirinya paling berkuasa sehingga tidak mau menerima kritik dan saran orang lain, itu pun termasuk bentuk kemusyrikan. Sebab, hanya Allah yang punya kekuasaan mutlak tanpa cacat.

Demikian kompleks dan tersamarnya kemusyrikan, sampai-sampai Sayyidina Ali menyatakan, ''Kemusyrikan itu bagaikan semut hitam yang merambat di ranting hitam di tengah hutan lebat pada malam gelap gulita.'' Nah, mari kita selidiki secara cermat, apakah dalam hati kita juga bersemayam kemusyrikan yang demikian sublim tadi. Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan ini patut diajukan pada hati sanubari kita.

Apakah kita termasuk majikan yang meniadakan hak-hak pekerjanya; apakah kita termasuk politisi yang sengaja menghilangkan hak-hak rakyat yang diwakilinya; apakah kita termasuk penguasa yang menutup hak-hak rakyat untuk mengoreksi dan mengkritiknya; apakah kita termasuk ibu rumah tangga yang memotong hak-hak para pembantunya; apakah kita termasuk orang yang minta bantuan dukun untuk melicinkan tujuannya; apakah kita termasuk orang yang memiliki jin untuk melindungi bisnisnya? Jika itu terjadi pada diri kita, mari beristighfar dan bertobat.

Sebab, semua itu adalah bentuk-bentuk kemusyrikan yang tersamar. Jika tidak bertobat, Allah akan menimpakaan azab kepada kita di dunia maupun akhirat. Na'udzubillah min dzaalik! –

No comments: