Tuesday, September 21, 2010

Sulitnya Tarawih di Iran (dimuat di Republika, Selasa, 31 Agustus 2010)

Oleh: Dadan Maula Darmawan (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Internasional Imam Khomeini, Iran)

Kebiasaan ngabuburit di Indonesia, sama sekali tidak dikenal di negeri ini.Berpuasa di negeri mayoritas Muslim ternyata tidak selalu mudah. Di negeri Islam Iran, mayoritas umat Muslim yang menganut mazhab Syiah tidak melaksanakan shalat Tarawih.

Oleh karena itu, sebagai umat yang meganut mazhab Suni, warga Indonesia di Iran, kesulitan untuk melaksanakan shalat Tarawih. Warga Indonesia yang kebanyakan mahasiswa harus pontang-panting mencari masjid yang melaksanakan Tarawih. Saya pun kaget ketika pertama kali datang ke negeri Ahmadinejad ini untuk studi S2 di Universitas Internasional Imam Khomeini.

Namun, bagi yang tinggal di Teheran, seperti saya, mungkin masih lebih beruntung. Karena, Duta Besar Republik Indonesia (KBRI) Teheran di Iran, Iwan Wiranataatmadja, mendatangkan para imam langsung dari Tanah Air untuk memimpin shalat Tarawih.

Tidak hanya memimpin Taraweh, para imam itu juga berceramah seusai shalat Tarawih. Rasanya menghapus dahaga rohani. Berbagai topik disajikan para imam untuk menambah khazanah keislaman warga Indonesia di Iran.

Selain itu, mereka juga menjadi imam pada shalat Jumat di area perkantoran KBRI Teheran. Biasanya, jika tidak ada imam dari Indonesia, yang menjadi imam dan khatib untuk shalat Jumat adalah para mahasiswa yang menempuh studi di negeri Persia ini.

Para imam yang didatangkan dari Indonesia itu, di antaranya Prof Dr Ali Aziz, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Syeikh Mustafa Mas'ud dari Jakarta, dan KH Athian Ali dari Bandung. Tiga imam ini tidak didatangkan sekaligus, melainkan dibagi menjadi tiga tahap, yang pertama di 10 awal Ramadhan, yang kedua 10 hari di pertengahan Ramadhan, sementara yang ketiga di 10 akhir Ramadhan hingga memimpin shalat Idul Fitri mendatang.

Kehadiran imam tersebut menambah semangat masyarakat Indonesia di sana untuk Tarawih. Mereka berduyun-duyun ke KBRI untuk melaksanakan Tarawih sebelum azan Isya berkumandang. Lewat Tarawih berjamaah ini pula, warga Indonesia di Iran dapat bersilaturahim satu dengan yang lainnya.

15 jam

Bulan Ramadhan di negeri orang berbeda dengan di Tanah Air. Jika di Indonesia masyarakat dan media massa begitu antusias menyambut bulan suci ini, di Republik Islam Iran hal itu sama sekali tak tampak. Ini karena budaya masyarakatnya yang berbeda.

Kebiasaan ngabuburit menjelang berbuka puasa di Indonesia tidak dikenal oleh masyarakat Iran.Meski begitu, ada juga warga setempat yang menjual makanan ciri khas menjelang buka puasa, namun jumlahnya relatif sedikit. Makanan tersebut bernama halim, terbuat dari tepung gandum yang dicampur dengan daging kambing.

Saya pernah antre untuk membeli makanan menjelang buka puasa.. Namun, setelah disantap, ternyata rasanya sangat hambar dan tidak cocok dengan lidah Indonesia. Saya agak terheran mengapa Halim menjadi makanan favorit warga Iran?Berbeda dengan di Indonesia yang waktu puasanya (mulai sahur hingga Maghrib) relatif tetap, yakni sekitar 13,5 jam.

Namun, di Iran, jika pada musim panas, waktu berpuasa bisa lebih lama sampai 15 jam lebih. Untuk Ramadhan tahun ini, lama puasa sekitar 15 jam karena bertepatan denga musim panas. Biasanya, kami melaksanaknakan sahur sekitar pukul 04.30 dan buka puasa pukul 19.30 waktu setempat.Ramadhan di Iran diperingati dengan biasa saja, walaupun di setiap jalan banyak terpajang spanduk-spanduk yang bertema Ramadhan. Begitupun di televisi-televisi Iran banyak iklan tentang Ramadhan. Tapi, semua itu hanya di beberapa media, tidak terasa kehidupan sehari-hari.

No comments: